BUKAN BERCANDA DENGAN MAUT (Part 1)

in #thriller7 years ago (edited)

(True Story)

Banda Aceh, Jumat, 13 Januari 2017- sekitar pkl. 9 pagi.

Matahari tampak tidak enggan untuk berbagi cahayanya pagi ini. Kicauan burung-burung masih terdengar dari luar rumahku, entah dimana mereka bertengger. Aku sedang merapikan ujung pashmina katun maroonku agar terurai lebih panjang, di depan cermin. Aku memalingkan mataku sesaat ke arah HP yang berbunyi sejak tadi, kuyakin notifikasi chat pada Whatsapp ku sudah mencapai ratusan karena tidak kubaca sejak tadi malam. Saat kubuka, ternyata benar! Akhirnya kuputuskan untuk membaca sekitar 10 chat terakhir saja.

Setelah itu, aku beranjak dari kamar lalu ke teras rumah, memakai sepatu. Enam ekor kucingku: Sisil, dan 5 anaknya: Mochi, Simba, Haku, Maru, dan Nala, mulai mengerubungi kakiku untuk meminta bersuap-suap makanan. Mereka mondar mandir menempelkan bulu-bulunya ke celana hitamku, menandai bau mereka, mengeong pilu dengan menunjukkan mata bulat memelas, memantulkan wajahku di korneanya. Hhh… aku menghela nafas. Seperti biasa, aku tak bisa mengelak dan mengabaikan permintaan kucing-kucingku, meski pun aku tahu bahwa beberapa teman sudah menunggu di suatu tempat. Akhirnya, setelah mengikat tali sepatu dusty purple, aku bergegas mengambil makanan kucing ‘Friskies’ dan menuangkannya ke “piring” putih. Tentu saja, karena kuberi tanda kutip, itu bukanlah piring. Sejujurnya, itu adalah tutup cat tembok berukuran besar yang sudah tidak dipakai lagi. Piring “asli” sebelumnya sudah digunakan, tetapi semakin tumbuh besar dan lebar kucing-kucingku, semakin tidak muat untuk digunakan makan berenam sekaligus. Begitulah…

Belum selesai keenam kucingku menghabiskan makanan, aku bergegas untuk pergi. Setelah berpamitan kepada keluargaku, termasuk kucing-kucingku (tidak perlu dibayangkan bagaimana aku berbicara dengan kucing), dengan membawa muatan 2 tas ransel, aku dan adik laki-laki naik sepeda motor, melaju ke titik kumpul, yaitu Warung Kopi de Helsinki. Warung kopi ini bersebelahan dengan Stadion H. Dimurtala, Banda Aceh. Tiba disana, kulihat beberapa teman sudah tiba, juga kulihat sebuah bus biru jernih yang tampak bagus dengan tulisan-tulisan resminya, ikut menunggu. Ya, aku bersama teman-temanku dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas hendak berlibur bersama ke Takengon, Aceh Tengah. Kami berencana berlibur hingga hari Minggu dalam rangka mempererat silaturami antar anggota BEM. Ini adalah pertama kalinya untukku ke Takengon, sehingga terkesan excited, dan bisa kutebak, sebagian besar teman lainnya pun merasakan hal yang sama. Setelah semua anggota BEM tiba di titik kumpul, kami masuk ke dalam bus. Dengan doa dan penuh harap agar selamat sampai tujuan dalam lindungan Allah, bus pun melaju. Selain kami dan pengemudi, ada juga seorang kernet. Eit! Bukan untuk mencari penumpang, tetapi untuk membantu pengemudi agar perjalanan dengan bus dapat berjalan dengan lancar.

Singkat cerita, setelah melewati area Gunung Seulawah, kami mampir untuk mengisi lambung yang sudah dijadwalkan untuk makan siang. Pak Pengemudi dan Pak Kernet ikut bergabung dengan para lelaki, makan bersama kemudian berbincang santai. Setelah makan, kami pun melanjutkan perjalanan.

Aku adalah tipe orang yang agak complicated jika sudah berjalan jauh seperti ini. Di dalam kendaraan, baik itu di mobil/bus, kapal, atau pesawat, aku tidak bisa tidur walau kelopak mata tak lagi kuat memfungsikan kornea. Dan lagi, seberat apa pun rasa mualku, tidak bisa muntah. (Bahkan ketika 7 bulan yang lalu saat stress, migraine, dan mual melanda karena bug terus hinggap dalam aplikasi skripsiku dan tak kunjung ‘terbang’, aku tetap tidak bisa memuntahkan uneg-uneg pikiranku secara fisik.) Konsekuensinya, sepanjang perjalanan ke Takengon, aku tidak tidur bahkan semenit pun. Bukan tidak mau, tidak bisa! Pun rasa mual setelah melewati Gunung Seulawah dan Gunung Salak hanya mampu tertahan di perut, diiringi rasa pusing. Untuk pertama kalinya, aku iri pada mereka yang bisa terlelap dan muntah dengan mudahnya.

Siang hari..

Waktunya Shalat Jumat. Bus berhenti di sebuah masjid. Jalanan saat itu tampak sepi. Kaum hawa yang “tidak diizinkan” shalat bertugas menjaga keamanan bus, selebihnya memasuki masjid untuk Shalat.

Sore hari…

Tibalah kami di Bener Meriah. Suhu sudah mulai rendah. Cuaca mulai dingin. Tampak kabut sesekali melintas. Kami mampir untuk shalat Ashar. Setelah itu, aku dan dua temanku, Ais dan Nur, berburu es krim. Fyi, kami makan eskrim tidak mengenal cuaca dan musim. Karena bagi kami, eskrim itu tidak hanya untuk kepuasan lidah, namun juga untuk kepuasan hati (Ceile~..). Aku dan Nur membeli eskrim Walls Cornetto Disc rasa Chocolate, sementara Ais membeli rasa green tea. Sebenarnya, kami agak kecewa, karena belakangan ini kami mencoba mencari Walls Cornetto Oreo, tapi tak kunjung temu. Kami pun kembali ke bus. Seisi bus heran melihat kami membeli es krim, sementara sebagian temanku yang lain berburu gorengan.

Akhirnya, sampailah kami di Takengon. Tempat wisata pertama yang kami kunjungi adalah Kolam Air Panas Lampahan, yang sesuai namanya, berlokasi di Lampahan, Takengon. Kami bergegas shalat maghrib dan masuk. Alih-alih bayar tiket untuk mandi, aku dan teman-teman perempuanku hanya “icip-icip” air panas dengan tapak kaki, lalu keluar, dan berburu gorengan. Pisang goreng ternyata tak cukup mengisi perut. Kami butuh makanan “berat”. Aku dan beberapa teman mampir ke swalayan, melihat-lihat apa yang bisa dimakan. Tiba-tiba mataku tertuju pada rak eskrim, dan didalamnya ada harapan yang tadi sore tertinggal. “Ada Walls Cornetto Oreo..”, rengekku pada temanku, karena waktunya tidak tepat. Kami sangat membutuhkan makanan pokok: NASI!

Kami menginap di 3 rumah yang berbeda lokasi. 1 rumah milik Nenek temanku yang berasal dari Takengon, Namira, ditempati oleh sebagian kaum Hawa. Rumah ini berlokasi di daerah Lot Kala, Kebayakan. Kaum Hawa selebihnya, termasuk aku, menginap di rumah Ina, temanku yang juga berasal dari Takengon. Sementara kaum Adam menginap di rumah Pamannya Ina, yang letaknya sekitar 10 meter dari rumah kami. 2 rumah ini berlokasi di Lentik, Kebayakan. Keluarga Ina menyambut kami dengan sangat ramah. Ama (panggilan untuk Ayah dalam Bahasa Gayo) berbicara dengan santai sembari membiarkan kami menonton TV, sementara Ine (panggilan untuk Ibu dalam Bahasa Gayo) dan kakaknya Ina menghidangkan makanan dan teh panas. Kami membeli nasi bungkus untuk makan malam. Cuaca yang dingin agaknya memaksa kami menikmati makanan dengan lahap.

Sang mentari telah lama kembali ke peraduannya. Selimut malam terbuka, menutup senja. Tubuh yang dijalari rasa penat dari ubun-ubun hingga ujung kaki, memohon untuk beristirahat. Sebuah perjalanan panjang yang benar-benar berliku, telah kami lewati dengan aman seizin Allah. Sejenak aku mengucap syukur pada Dzat Yang Maha Agung.
Alhamdulillah…

Aku dan temanku yang menginap di rumah Ina, sebenarnya merasa lelah. Tetapi, entah karena perlu beradaptasi atau memang tidak mengantuk, kami tidak langsung tidur. Ina membiarkan TV tetap menyala walau sudah tengah malam. Setelah gonta-ganti channel, Ina menghentikan jemari di remotenya pada siaran swasta terkenal, and guess what? Bagi generasi 90’an, pasti sangat tau dengan film horror djadoel (djaman doeloe) kuntilanak Indonesia. Film ini berkisah tentang kuntilanak yang berawal dari wujud manusia namun ironis (dan tidak masuk akal) berakhir menjelma menjadi kuntilanak karena dendam. Kami menontonnya sambil mengunyah cemilan. Bukannya berteriak ngeri, kami malah tertawa geli. Hampir tersedak! Mungkin kengerian sudah terkeruk habis semasa kecil. Sehingga yang tersisa hanyalah kenangan lama yang mengundang tawa.

“Kaya’nya… Alvi masuk angin..” (-_-) curhatku memelas, saat reklame TV berlangsung. Lalu, temanku yang murah hati, Nanda, menawarkan diri untuk memijat. Luar biasa! Nanda sangat layak membuka spa atau klinik massage! Kusarankan begitu. Temanku yang lain, Dena, kembali menawarkan koyok. Aku menerimanya. Sejak tadi di dalam bus, Dena sudah beraksi dengan murah hati, berbagi koyok dengan berbagai ukuran: S, M, dan L. Mmm.. Maksudnya, beberapa koyoknya sudah dipotong menjadi beberapa bagian dan ukuran yang berbeda-beda. Aku juga menyarankan Dena untuk membuka usaha koyok! Dena dan lainnya tertawa.

Film selesai tayang, tidak ada broadcast menarik lainnya. Kami memutuskan untuk tidur. Cuaca sangat dingin. Ditambah lagi, air di kamar mandi sedingin es. Biasanya aku mencuci tangan dan kaki tepat sebelum tidur, tapi kali ini kutiadakan kebiasaan itu. Setelah memakai kaos kaki, membentangkan selimut ala camping, dan mengucapkan selamat tidur, aku pun memanjatkan doa yang sudah diajarkan Ummi sejak kecil, sembari bertanya-tanya dalam benakku, apakah esok hari aku akan mandi pagi dengan air sedingin ini?

(To be continued....)