Kedua Kali Traveling, Perjalanan ke Melaka Melalui Bandar Seremban yang Jauh dari Keriuhan (Chapter 7)
Rencana ini sudah di ceritakan oleh bang Razi sejak kemarin di acara Majelis Guru-Guru Silat Melayu. Beliau akan membawa kami jalan-jalan ke Melaka, berziarah ke makam-makam kuno dan makam orang Aceh di Melaka.
Pagi-pagi sekali, dua mobil Proton sudah parkir di depan mesjid Sungai Penchala, Damansara. Kali ini Kak Nor digantikan oleh bang Zamhari. Beliau membawa serta adiknya. Adik bang Zam sedang meneliti tentang pakaian adat di semenanjung Melayu. Dia pernah berkunjung ke Bugis juga Jawa, tapi belum pernah ke Aceh. Kali ini mungkin waktu yang tepat untuk bergabung bersama kami ke Melaka.
Kami sudah siap sejak pukul enam subuh. Kami akan berangkat ke Melaka pukul tujuh. Kata bang Razi, berangkat lebih awal supaya bisa singgah di beberapa tempat sepanjang perjalanan. Juga agar tidak terlalu malam saat kembali ke Kuala Lumpur. Kami sarapan pagi di kedai canai di depan mesjid Penchala. Kedai ini rupanya milik orang Aceh yang sudah puluhan tahun tinggal di Damansara. Tempatnya tidak jauh dari rumah Munir.
Setelah semua selesai, kami pun berbagi tumpangan. Saya, mama, kakak naik ke mobil bang Zam. Sedangkan Cek Nadri, bang Say, Baya, dan Ajir ikut ke mobil bang Razi. Ini merupakan kali pertama saya ke Melaka. Berbeda dengan kakak, dia telah pergi sekali saat bersama Miss Yet dulu. Tapi katanya, jalan yang kami tempuh sekarang berbeda. Kakak mengira kami akan ke Melaka melalui Tol Lebuh Raya Plus yang memotong ke Nilai. Tapi rupanya kami memasuki kawasan Putrajaya yang menghala ke bandara KLIA. Rupanya bang Razi ingin membawa kami ke Melaka melalui Bandar Seremban, bukan melalui tol yang berakhir di Ayer Keroh.
Jalan yang kami lalui sangat sepi dari hiruk pikuk wisatawan. Benar, bus yang berangkat dari Terminal Bersepadu Selatan akan berangkat ke Melaka melalui tol Ayer Keroh, bukan dari Bandar Seremban. Ketika tiba di Lukut, kami mampir ke SPBU untuk mengisi bahan bakar mobil. Bang Razi kemudian mengajak kami untuk melihat sebuah komplek makam.
Inilah makam Diraja yang berada dibawah kerajaan Selangor. Raja Jumaat ini pernah mengusahakan bijih timah 200 tahun yang lalu di sini
Penjaga makam kemudian menunjukkan makam di luar komplek. Sebuah makam yang tidak diketahui pemiliknya. Tapi diperkirakan berumur 400 tahun yang lalu. Kami melajutkan perjalanan lagi. Adik bang Zam terus bertanya tentang pakaian adat Aceh. Saya hanya diam. Kakak dan mama yang menjawab seluruh pertanyaannya. Mama memang mahir dalam menjelaskan pola bunga yang ada pada seluwar dan baju adat Aceh. Beliau rajin belajar menjahit sejak masih sekolah dasar dulu.
Mobil bang Razi berbelok ke arah pantai, kami mengikutinya di belakang.
Saya telah membawa kalian kembali ke daerah kalian
Sambil bercanda, bang Razi menjelaskan bahwa ini adalah pantai Port Dickson atau biasa disingkat menjadi Pidi (PD). Benar juga kata bang Razi, Pidi sama seperti ucapan untuk daerah tempat tinggal kami, Pidie. Menikmati kopi dan kelapa muda sambil merasakan angin sepoi-sepoi dari Teluk Kemang menambah aura traveling yang berbeda dari sebelumnya.
Lagu melayu yang diputar di mobil bang Zam membuat perjalanan kami kali ini benar-benar menarik. Melalui laluan pinggir pantai yang jauh dari riuhnya perkotaan. Inilah Malaysia yang sebenarnya, batin saya dalam hati. Setelah 30 menit dari pantai Port Dickson, mobil berhenti lagi di sebuah makam kuno berbatu Megalith. Makam yang terletak di Pengkalan Kempas ini adalah milik seorang syeikh bernama Syeikh Ahmad Majnun. Syeikh Ahmad hidup 600 tahun yang lalu. Karena taat mengamalkan ilmu tasawuf, beliau di anggap gila sehingga diberi nama Ahmad Majnun (Majnun berasal dari bahasa Arab yang berarti gila.
Perjalanan kemudian dilanjutkan melalui Kuala Linggi sebelum makan siang di Pantai Puteri. Tidak jauh berbeda dengan Port Dickson, suasana Pantai Puteri ini sangat adem dan nyaman. Pemilik warung nasi sangat senang dengan kunjungan kami ke sana. Apalagi kami memakai pakaian adat Aceh.
Kami merasakan ada kunjungan sahabat Hang Tuah dari Aceh ke sini, sebuah kebahagiaan tiada tara. Ditengah pertikaian antar negara, ada sekelompok orang yang ingin menyambung silaturrahmi masa dahulu
Pemilik warung tersebut mengatakannya dengan terharu. Beliau berulang-ulang mengucapkan alhamdulillah atas kunjungan kami ini. Beliau memotong setengah harga dari jumlah yang harus kami bayar atas makan siang ini.
Setelah mendengar kata Hang Tuah, kami bertanya kepada bang Razi dimana pusara beliau. Bang Razi pun menghala Protonnya ke arah tadi, kami berkunjung ke makam yang di duga milik Hang Tuah sebelum masuk ke Melaka.
Bersambung
Kamu bisa baca kembali Chapter 1, Chapter 2, Chapter 3, Chapter 4, Chapter 5, Chapter 6
Hallo @akbarrafs Follow kita ya
Terima kasih. Nanti difollow ya
Tega kamu
Aku udah follow ya @barcelona.indo
hahahaha..rupanya decul yaaa
Beautiful Travel..I like it.
Thank you
This very nice post thanks..
Thank you 😉
Most welcome..
Keren
Terima kasih
Follow kita juga ya...
Haha..terima kasih bang Fauzi
Nggak terasa udah chapter 7 aja yaaaa.... kalau mau nulis sebenarnya nggak pake lama, yang lama itu mikirnya hahahah
Seperti perjalanan itu sendiri kak. Kalau terlalu direncanakan gak akan jadi-jadi. Jika sudah matang rencana, langsung pergi aja dengan dana yang cukup.
hahahah betul, jadi rencana kita yang itu gimana?
Perjalan yang sangat luar biasa, membuat saya iri, hehehe
Terima kasih atas perhatiannya. Baca juga kisah sebelumnya ya.
Cerita Hang Tuah ini yang membuat penasaran, sampe kawan Melayu menulis yentang Hang Tuah,..menarik ni hmmm..
Iya..ada yang bilang cuma legenda. Boleh nih nanti kita ke pusaranya lagi dan ke Kampung Hang Tuah di Melaka
Insyaallah