Belum Menang Lomba Menulis, Baca Kisah Ini | Bilingual | #AyoMenulis_7 |
Belum Menang Lomba Menulis, Baca Kisah Ini |
“Jangan Pernah Menggantungkan Masa Depan pada Selera Seorang Editor”
Photo by @yahqan
SAYA sudah pernah menulis kalimat di atas di beberapa media sosial dan tidak pernah mendengar kalimat ini sebelumnya dari siapa pun. Namun, saya tidak berani mengklaim bahwa kutipan inspiring itu murni dari saya. Bisa jadi sudah pernah disampaikan orang lain dengan kalimat berbeda. Seperti kata pepatah, tidak ada yang baru di bawah sinar mentari.
Di sini saya hanya ingin berbagi pengalaman dalam mengikuti lomba penulisan novel. Pada 2005, saya mengikuti sebuah lomba penulisan novel yang diselenggarakan sebuah penerbit di Bandung. Target saya tidak muluk-muluk, novel saya masuk dalam karya yang layak untuk diterbitkan. Perlombaan tersebut memberikan hadiah yang tidak terlalu besar bagi pemenangnya. Tapi sekali lagi, meski mengharap menang, target saya novel Alon Buluek yang saya tulis termasuk yang diterbitkan.
Berapa persen keyakinan saya akan memenuhi target?
Jawaban saya tegas: 1000 persen!
Kenapa begitu yakin?
Begini. Kalau sudah sering mengikuti lomba, dan sering menulis, kita bisa mengukur kapasitas tulisan kita dan posisinya dibandingkan dengan naskah penulis lain. Kemudian, salah satu jurinya adalah penulis di Anita Cemerlang dari generasi di bawah saya. Bukan mengharap adanya nepostisme, tapi minimal juri itu pernah membaca cerpen-cerpen saya di majalah Anita.
Tapi alasan lain yang menguatkan keyakinan saya. Novel Alon Buluek bercerita tentang seorang remaja korban gempa dan tsunami di Aceh pada 2004. Anya, gadis cantik itu kehilangan keluarganya dalam tsunami, berusaha mencari adik-adiknya yang tercerai-berai. Dia mendengar adiknya sudah diadopsi sebuah keluarga di Jakarta dan Anya berusaha mencarinya. Perjuangan menyatukan kembali keluarga yang hancur karena tsunami inilah yang menjadi inti dari kisah Alon Buluek.
Kenapa judulnya Alon Buluek?
Saya mewawancarai banyak orang tua Aceh tentang tsunami. Dalam sebuah hikayat zaman dulu, ada yang mengisahkan tentang alon (artinya gelombang) yang sangat buluek (rakus) sehingga menghancurkan segalanya. Tsunami ‘kan berasal dari bahasa Jepang yang artinya gelombang laut. Saya ingin mengenalkan istilah tsunami dalam bahasa Aceh, ingin menyampaikan bahwa dulu pernah terjadi bencana serupa dan bisa jadi akan terjadi kembali. Hidup adalah pengulangan masa lalu, bencana pun demikian adanya kalau kita tidak belajar dari masa lalu.
Sebagian besar dari kisah Alon Buluek ini berasal dari penggalaman saya sendiri dan pengalaman orang lain, baik yang saya kenal maupun tidak, saat terjadi gempa dan tsunami di Aceh pada Minggu 26 Desember 2004. Kisah nyata itu saya kombinasikan dengan imajinasi sebab karya sastra tidaklah indah hanya fakta melulu. Saya menuliskannya sambil menangis, teringat dengan sahabat yang meninggal dengan cara yang tak pernah terbayangkan dalam mimpi yang paling buruk. Pernah naskah novel itu saya tinggalkan karena semua kejadian itu sangat menakutkan, menyedihkan, begitu mengguncang jiwa. Ada yang bilang bahwa menulis bisa menjadi terapi bagi kegelisahan jiwa. Tapi saat itu, menulis sama seperti membuka luka kian menganga. Jadi, saya tinggalkan.
Hanya bisa bertahan seminggu paling lama. Setelah itu, hati saya menggerakkan kembali jemari untuk melanjutkan naskah Alon Buluek sampai akhir. Setelah selesai, langsung saya kirim ke panitia lomba dengan penuh keyakinan. Apalagi gempa dan tsunami Aceh merupakan bencana terbesar sepanjang sejarah modern. Seluruh mata tertuju ke Aceh. Tokoh besar dunia yang selama ini bahkan tidak pernah ke Indonesia, untuk pertama kali datang ke Aceh. Kalau mata seluruh pesohor dunia tertuju ke Aceh, masa mata juri tidak terpatri pada naskah saya. Begitu pikir saja waktu itu. Sebagai jurnalis, naluri saya selalu mencari tema yang sedang aktual.
Dengan segala pertimbangan di atas, wajar ‘kan kalau saya optimis Alon Buluek akan masuk naskah yang akan diterbitkan, syukur-syukur menjadi juara. Harapan pun tidak menjadi masalah.
Hasilnya bagaimana?
Jangankan juara, masuk nominasi pun tidak. Masuk dalam naskah yang diterbitkan pun tidak. Namun, saya sudah biasa mengalami hal seperti ini. Saya tidak menghakimi diri sendiri tidak berbakat, tidak mengutuk juri yang tidak professional, atau menganggap naskah saya sebagai karya yang buruk. Saya memang kecewa. Harapan memiliki buku pertama yang sudah lama saya pendam, belum terwujud. Saya mulai mengirim karya ke media sejak 1990 dan sejak kecil berharap memiliki buku, sampai 2005 belum terwujud juga. Jalur biasa dengan mengirim naskah ke penerbit sudah saya tempuh dan gagal. Jalur lomba juga gagal, dan ini bukan kegagalan yang pertama.
Entah dari mana, saya dapat informasi ada lomba yang digelar penebit Grasindo (Kompas Gramedia Grup) bekerja sama dengan radio Nederlan seksi Indonesia. Saya ingat dengan naskah Alon Buluek dan saya baca kembali. Hampir tidak ada yang saya ubah. Dan karena naskah ini tidak menang, belum pernah diterbitkan, saya ikutkan ke lomba tersebut tahun 2005. Target saya belum berubah, hanya diterbitkan saja. Di pengumuman memang disebutkan, 10 karya terbaik di luar juara satu, dua, dan tiga, akan diterbitkan.
Ketika menjadi pemateri di Kampus Unsyiah, Banda Aceh, dalam sebuah kegiatan yang digelar oleh Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh, saya mendapat telepon dari Jakarta yang mengaku panitia lomba penulisan novel. Mereka bertanya apakah saya bersedia jika judul novel itu diganti dengan Alon Buluek (Gelombang Laut yang Dahsyat). Saya tidak keberatan.
Saat pengumuman, saya ternyata masuk sepuluh besar. Kerja keras selama ini akhirnya terbayar. Sepuluh penulis diundang ke Jakarta dan menginap di Hotel Santika di Jalan KS Tubun, Petamburan, yang sudah sering saya inapi ketika menjadi ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Lhokseumawe. Santika memang hotel milik grup Kompas. Seluruh biaya penulis, transportasi darat dan udara, akomodasi, dan konsumsi, ditanggung panitia. Ini tidak ada dalam lomba sebelumnya yang menyediakan hadiah lebih kecil.
Dan yang lebih membanggakan, ketika diumumkan di sebuah gedung, saya menjadi juara ketiga dengan total hadiah Rp10.000.000 (sepuluh juta rupiah). Sedangkan lomba yang digelar penerbit Bandung, juara pertama Rp3.000.000 (tiga juta rupiah). Kebahagiaan saya berlipat karena yang menjadi dewan juri adalah tiga tokoh sastrawan nasional, ketuanya Prof DR Riris K. Sarumpaet dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Dua anggota juri sastrawan Veven SP Wardhana dan Maman S Mahayana yang sudah terkenal dan memiliki banyak buku tentang sastra. Berita di Koran Tempo tentang kegiatan lomba tersebut membuat kegagalan saya selama ini terlupakan, bahwa inilah lomba novel remaja yang paling banyak pesertanya karena lebih dari 600 naskah masuk ke meja panitia.
Bisa menjadi juara tiga merupakan prestasi luar biasa bagi saya dan saya tidak pernah menyangkanya karena jauh melampaui target, apalagi dengan tingkat persaingan yang sangat tinggi dengan dewan juri yang sudah sangat terkenal. Veven SP Wardhana kini sudah meninggal karena sakit. Sedangkan Pak Maman S Mahayana kini masih aktif menulis dan mengajar, termasuk menjadi dosen tamu di sebuah universitas di Korea Selatan.
Saya membandingkan lomba di Bandung dan di Jakarta itu sebagai Liga Champion dengan liga domestik di sebuah negara yang peringkat FIFA di atas 100. Begitu jauh perbedaannya, tetapi saya mendapatkan prestasi justru di kompetisi yang lebih prestisius.
Inilah salah satu pengalaman mengikuti lomba yang tidak akan pernah saya lupakan. Sekarang, saya tidak pernah kecewa jika gagal dalam lomba menulis sebab ini kegiatan yang tidak terukur dengan statistik. Ini pekerjaan seni, bukan lomba lari 100 meter yang juaranya lebih mudah dilihat.
Saya tidak pernah menyalahkan juri, meski terkadang saya melihat kapasitasnya masih belum memadai. Setuju atau tidak, kita harus menghargai posisinya sebagai dewan juri. Tapi bukan berarti kita tidak bisa mengkritisi mekanisme penilaian dan bagaimana perlombaan digelar. Tujuan dari kritik adalah untuk memberikan masukan konstruktif, bukan untuk mempermalukan panitia atau juri.
Frasa yang saya gunakan dalam tulisan ini adalah “belum” dan bukannya “tidak”. Ini bermakna, kesempatan masih banyak ke depan. Teruslah menulis dan mengikuti lebih banyak lomba. Percayalah, sebutir berlian akan tetap bersinar meski ia berada dalam kubangan lumpur. Tulisan yang baik, meski tidak menjadi juara dalam lomba, akan tetap ada pembacanya.
Juri menilai menurut standar tertentu baik yang ditetapkan panitia maupun yang ditetapkannya sendiri berdasarkan ilmu yang dimilikinya. Bisa jadi, ketika membaca karya kita ia sedang tidak fokus, sedang ada masalah dengan istrinya, atau sedang lelah, atau mekanisme penjurian membuat tidak semua naskah dibaca juri secara langsung melainkan diseleksi oleh panitia terlebih dahulu, yang panitia itu tidak mengerti masalah tulis-menulis. Begitu banyak variannya.
Tapi tetaplah menulis dan mengikuti lomba. Sebab kita masih punya pembaca sebagai “juri” yang lain yang terkadang lebih fair. Jadi, jangan pernah berhenti. Jangan pernah berhenti. Jangan pernah berhenti menulis.[]
Salam Komunitas Steemit Indonesia…!!!
Two covers of Alon Buluek; Waves of the Great Sea in the Indonesian edition (published in 2005) and Dutch (published in 2006)
Have not Won a Writing Competition, Read This Story
"Never Depend Your Future on an Editor's Appetite"
I've written the above sentences on some social media and never heard this sentence before from anyone. However, I dare not claim that the inspiring quotation is purely from me. It could have been delivered by others with different sentences. As the saying goes, there is nothing new under the sun.
Here I just want to share my experience in following the novel writing contest. In 2005, I attended a novel writing competition held by a publisher in Bandung, Indonesia. My target is not grandiose, my novel is in a work worthy to publish. The race gives a prize that is not too big for the winner. But once again, though hoping to win, my target novel Alon Buluek that I wrote included that published.
What percentage of my beliefs will meet the target?
My answer is firm: 1000 percent!
Why so I am sure?
You see. If you have often followed the race, and often write, we can measure the capacity of our writing and position compared with other writers. Then, one of the juries was a writer at Anita Cemerlang from the generation below me. Not expecting any concoism, but at least the jury had read my short stories in Anita magazine.
But another reason reinforces my belief. Novel Alon Buluek tells of a teenage victim of the earthquake and tsunami in Aceh in 2004. Anya, the beautiful girl lost her family in the tsunami, trying to find her scattered younger siblings. He heard his sister had adopted a family in Jakarta and Anya tried to find her. The struggle to reunite the families destroyed by the tsunami is the core of the story Alon Buluek.
Why the title Alon Buluek?
I interviewed many Acehnese parents about the tsunami. In an ancient saga, there is a story about alon (meaning waves) that very buluek (greedy) that destroy everything. Tsunami 'kan comes from the Japanese language which means sea waves. I would like to introduce the term tsunami in Aceh language, would like to convey that there had been a similar disaster and could have happened again. Life is a repetition of the past, disaster is so if we do not learn from the past.
Most of Alon Buluek's story comes from my own experience and experience, whether I know it or not, during the earthquake and tsunami in Aceh on Sunday 26 December 2004. The real story I combine with the imagination because the literary works are not beautiful Facts solely. I wrote it down crying, remembering a friend who died in a way that was never imagined in the worst dream. Once the novel I left the script because all events are very scary, sad, so shake the soul. Some say that writing can be a therapy for anxiety of the soul. But at that time, writing the same as opening the wound gaping. So, I leave.
Only lasts a week. After that, my heart moved my fingers to continue Alon Buluek's script until the end. Once completed, I immediately send to the race committee with full confidence. Moreover, Aceh earthquake and tsunami is the biggest disaster in modern history. All eyes are on Aceh. The great figure of the world who had never even been to Indonesia, for the first time came to Aceh. If the eyes of all the world's celebrities are drawn to Aceh, the jury's time is not imprinted on my manuscript. Just thought that time. As a journalist, my instincts are always looking for an actual theme.
With all the above considerations, it is natural that I am optimistic Alon Buluek will enter the script to be published, thanks to be a champion. Hope is not a problem.
The result is how?
Never a champion, not even nominated. Not even in the published text. However, I am used to experiencing things like this. I do not judge myself by not being gifted, not condemning an unprofessional jury, or taking my script as a bad work. I was disappointed. Hope has the first book that I have long been immune, has not materialized. I started sending work to the media since 1990 and since childhood I hope to have a book, until 2005 has not materialized as well. The usual route by sending a script to my publisher has gone and failed. The race line also failed, and this is not the first failure.
Out of nowhere, I can get information that there is a contest held by Grasindo (Kompas Gramedia Group) grabbers working with Nederlan radio Indonesia section. I remember with Alon Buluek script and I read it again. Almost nothing I change. And since this script did not win, has not been published yet, I joined the race in 2005. My target has not changed, just published it. In the announcement was mentioned, the 10 best works outside champion one, two, and three, will be published.
As a speaker at the Unsyiah Campus, Banda Aceh, in an activity held by the Aceh Reconstruction and Rehabilitation Agency (BRR), I got a call from Jakarta claiming to be a novel writing committee. They asked if I would be willing if the title of the novel was replaced by Alon Buluek (The Great Waves of the Sea). I do not mind.
At the announcement, I was in the top ten. Hard work so far paid off. Ten authors were invited to Jakarta and stayed at Santika Hotel at Jalan KS Tubun, Petamburan, which I have often been in when I was chairman of the Alliance of Independent Journalists (AJI) of Lhokseumawe City. Santika is indeed a hotel belonging to the Kompas group. All the author's fees, land and air transportation, accommodation, and consumption, are borne by the committee. This is not in the previous race that provides smaller prizes.
And a more proud, when announced in a building, I became the third winner with a total prize of Rp10.000.000 (ten million rupiah). While the race is held publisher Bandung, the first champion Rp3.000.000 (three million rupiah). My happiness doubled because the jury is three national letters, the chairman of Prof. DR Riris K. Sarumpaet from the Faculty of Cultural Sciences University of Indonesia. Two members of the literary jurors Veven SP Wardhana and Maman S Mahayana are well known and have many books on literature. The news in Koran Tempo about the race's activities caused my failure to be forgotten, that this is the most adolescent novel contest because more than 600 manuscripts go to the committee's table.
Being a champion three is a great achievement for me and I never suspect it because it goes far beyond the target, especially with the very high level of competition with the jury who is very famous. Veven SP Wardhana has now died from illness. While Mr. Maman Mahayana is now still actively writing and teaching, including a guest lecturer at a university in South Korea.
I compare the contest in Bandung and Jakarta as a Champions League with a domestic league in a country that ranks FIFA above 100. So far the difference, but I get the achievement precisely in a more prestigious competition.
This is one experience following a race that I will never forget. Now, I am never disappointed if it fails in the writing contest because this activity is not measurable with statistics. It's an art job, not a 100-meter race that champions are easier to see.
I never blame the jury, although sometimes I see the capacity is not enough. Agreed or not, we should respect his position as a jury. But that does not mean we can not criticize the assessment mechanism and how the race is held. The purpose of criticism is to provide constructive feedback, not to embarrass the committee or the jury.
The phrase I use in this paper is "not yet" and not "no". This means, there are still many opportunities ahead. Keep writing and follow more races. Believe me, a diamond will still shine even though it is in a mud puddle. Good writing, although not a champion in the race, there will still be readers.
Judges judge by certain standards either set by the committee or set itself based on the knowledge it has. It may be that, when reading our work he is not focused, there is a problem with his wife, or being tired, or the judging mechanism makes not all manuscripts are read directly by the jury but selected by the committee first, which the committee does not understand the problem of writing. So many variants.
But keep writing and following the race. Because we still have the reader as a "jury" the other is sometimes more fair. So, do not ever stop. Do not ever stop. Never stop to writing. []
Wham Regards to Steemit Community in the World ... !!!
Sebuah pencerahan dan penguatan dr senior yg sdh byk makan asam garam di dunia menulis. Sy setuju, tidak ada 'tidak', yg ada hanyalah 'belum'. Trimakasih byk byk atas postingan ini👍
Alhamdulillah kalau postingan ini bermanfaat @horazwiwik. Kita terus belajar menulis dengan dua hal saja; menulis terus dan membaca terus. Salah satu medianya adalah Steemit.
Roger that, bg @ayijufridar.
sangat menginsprirasi kita untuk dapat membuat tulisan-tulisan dan berkarya dengan bagus,terimakasih @ayijufridar
Terima kasih @jodipamungkas atas apresiasinya. Adek leting yang penuh perhatian, hehehehe. Saleum...
haha sama-sama mas @ayijufridar
seperti kata pepatah " banyak membaca banyak juga ilmu yang di dapat " hehehe .saleeum ..
Betul @jodipamungkas. Membaca selain mendapatkan ilmu dan perbendaharaan kata yang banyak, juga bisa mengikat kembali jaringan sel di otak yang terputus setiap hari. Membaca dan menulis adalah obatnya.
siaap bg @ayijufridar
Sungguh tulisan yang sangat luar biasa. Besar sekali inspirasi dari hasil tulisan pak @ayijufridar untuk kami yang baru belajar menulis. Semoga kami bisa menjadi seorang penulis yang sukses dan saya harap pak @ayijufridar bisa membantu dan membimbing kami dalam menulis.
Terima kasih @Fauzi03. Steemit memberikan ruang bagi kita untuk saling mengoreksi, saling menyemangati, dan saling membantu kawan Steemians yang lain.
Makasih @ayijufridar. Bang bisa ikuti saya? Saya berharap untuk ada orang yang bisa mengoreksi karya tulisan saya agar saya bisa menghasilkan karya yang berkualitas dan bermanfaat untuk para steemian.
Sangat inspiratif bg @ayijufridar
Btw, dimana bisa saya dapatkan novel tersebut sekarang bg ??
Alon Buluek itu novel yang terbit ahun 2005. SEkarang tidak terbit lagi @azissuloh. Doakan saja semoga bisa dicetak kembali.
Oke sip bg @ayijufridar
Saya akan menanti cetakan berikutnya.
Sukses bg.
Saya sangat gemar dalam menulis, namun saya tidak mengerti bagaimana menulis dengan baik.
Terimakasih bang @ayijufridar telah berbagi langkah-langkah dan cara menulis dengan baik, karena postingan anda dapat memotisivasi saya dalam menulis lebih baik lagi kedepannya 👍
Masak sih, tidak bisa menulis dengan baik @fahmidamti? Itu komentarnya rapi dan sudah sesuai kaidah berbahasa Indonesia yang baik dan benar, hehehehe....
Tapi di Steemit kita bisa saling mengoreksi. Saya juga terus belajar dan belajar...
Siap komandan, pastinya kita bisa saling berbagi antar sesama yang membutuhkan bantuan 😊
Semangat untuk bang @ayijufridar 👍
Terima kasih @fahmidamti. Saya baca beberapa postingan yang dulu sudah oke tuh. Dengan makin sering kita menulis, insya Allah akan semakin bagus.
Semangat bang @ayijufridar
Terima kasih @murdanialthaf. Semangat kembali...
Saya suka kata-kata mas @ayijufridar.
Kalau mata seluruh pesohor dunia tertuju ke Aceh, masa mata juri tidak terpatri pada naskah saya. Begitu pikir saja waktu itu. Sebagai jurnalis, naluri saya selalu mencari tema yang sedang aktual.
semangat yang luar biasa mas, saya suka membaca tulisan anda...
Amazing @ayijufridar
Tiada lebih dari 2 kata yang bisa terucap ketika membaca postingan anda "good job".
kegagalan awal dari kesuksesan.
Sukses selalu @ayijufridar....
Terima kasih @boyelleq. Semoga sukses selalu...
Bang @ayijufridar memang mampu.
Terima kaish @nasrullahilyas
Congrats bro. Its inspiring story, either the author and the story as well. Awaiting your another story.