Bacalah Senyumku, Dengarlah Tulisanku
Tujuh ekor burung terbang meneguk air di hadapanku, lalu terbang bersama-sana meninggalkan senyum, pagi itu matahari sedang merapihkan kabut, aku hanya duduk mendengarkan mereka semua bicara, merekamnya dalam ingatan di hati, kelak semua akan kutuliskan kembali sebagai catatan perjalanan kehidupanku.
Bagi yang sudah mengikuti tulisan saya sejak lama dan mengenal saya dengan baik, tidak perlu terkejut bila dalam sehari saya menulis beberapa tulisan. Yang pernah menemani saya menulis buku tentu lebih paham lagi, Bang Risman A. Rachman, sahabat sejak lama yang juga seorang penulis asal Aceh dan membimbing saya dalam banyak hal, saya menulis buku dalam waktu 5 hari. Beliau malah lebih cepat lagi dalam menulis, dan sepertinya lebih banyak yang beliau tulis daripada yang diucapkan secara lisan. Dulu, kami sering menulis bersama-sama, bertukar hasil berpikir, olah rasa, dan diskusi dengan saling membalas tulisan. Dan ini, menjadi jejak yang nyata, sebagai sejarah bagaimana persahabatan dengan ide-ide dan karya-karya bisa abadi dan tak terhapus masa.
Bukan karena saya hebat, sekali lagi saya menolak dengan sebutan "hebat", saya tidak suka karena itu berlebihan. Ini hanyalah faktor kebiasaan dan puluhan tahun konsisten setiap hari menulis, walau hanya sepenggal kalimat. Teman saya hidup sejak kecil, adalah kertas-kertas, pensil, dan pena. Jika tidak menulis, saya menggambar atau melukis, jika tidak keduanya, saya membaca. "Dasar autis!", begitu umpatan yang sering saya dengar tentang saya, dan saya hanya tertawa geli saja. Biarlah.
"Bagaimana sebenarnya cara dirimu menulis?", tanya seorang sahabat yang saya panggil dengan sebutan Pelangi dari Timur.
"Saya menulis karena saya mendengar. Karena itu jika ingin mengerti tulisan saya, bacalah senyum saya, dan dengarkan tulisan saya, ada roh dan jiwa dalam setiap tulisan dan bermainlah dengan roh dan jiwa itu," jawab saya.
"Maksudnya?", tanyanya lagi.
"Jika dirimu menulis tentang mawar, dengarkanlah mawar bicara. Biarkan dia yang bercerita dan dirimu menuliskannya. Kita seringkali hanya banyak bicara, lupa dan sulit mendengar", saya mencoba menjelaskan.
"Padahal itu yang penting, ya? Makanya kita diberikan anugerah satu mulut dan dua telinga", dia pun mengkonfirmasi.
"Ya, meski sudah tahu pun, tetap saja mulut selalu lebih ingin eksis dibandingkan telinga. Persis seperti 01 dan 02, pikirkan saja baik-baik. Dengarkan keduanya untuk mengerti", jawab saya sambil bercanda.
Semua yang pernah belajar menulis dengan saya, apalagi yang benar serius dan tekun, akan mengerti dan mengalami apa yang saya maksudkan. Sedari awal saya selalu tekankan untuk berani mendengar tulisan sendiri agar berani mempertanggungjawabkannya, dan sekaligus lebih kenal dengan diri sendiri lewat setiap kata yang terurai. Setelah menulis, bacalah tulisan sendiri dan dengarkan baik-baik atau minta dibacakan orang lain. Benarkah itu dirimu yang menulis?!
Dengan terus melatihnya, kita juga jadi mengaktifkan indera pendengaran, daya ingat, dan mengolah terus rasa yang ada di dalam hati agar terus semakin lapang, terisi, dan kaya. Rasa malu akan timbul bila tidak konsisten dengan apa yang sudah dituliskan dan diucapkan, dan ini akan terus ada bukan hanya pada saat menulis saja, namun setiap kali bicara. Apalagi bila hanya sekedar meniru/menyontek tanpa ijin dan pura-pura mengakui karya orang lain sebagai karya sendiri, rasa di hati akan terus mengejarnya.
Jika pun tidak menulis, maka bisa dilatih dengan mencoba selalu mendengarkan apa yang kita ucapkan sendiri. Bisa dimulai dengan setiap kali kita shalat, berdoa, dan zikir. Dengarkan baik-baik setiap kata yang kita ucapkan dan rekamlah di dalam hati. Cara ini juga membuat kita lebih fokus atau khusyuk, kita melatih otak untuk fokus dengan apa yang kita ucapkan, kita jadi lebih hati-hati dan tidak terburu-buru. Lebih khidmat. Dengarkan baik-baik hingga merasa bahwa apa seolah kita sendiri yang membisikkannya langsung ke kedua telinga.
Saya membagikan ini, terutama bagi yang ingin menulis dan ingin mencoba lebih baik lagi. Cara saya mengajar memang berbeda dengan cara guru-guru menulis lainnya. Dengan saya, harus sangat sabar dan tidak ada yang bisa instant. Semua tahapan harus dilakukan dan dilalui dengan proses hingga kuat dan matang. Urusan teknik menulis, itu mudah dipelajari, lewat buku pun banyak. Yang tersulit adalah mengolah rasa, memiliki jati diri, konsisten, dan benar kuat dalam karakter serta kepribadian. Bagi yang ingin cepat, instant, dan hanya berpikir soal uang dari menulis, sebaiknya lupakan saja apa yang bagikan ini, yah. Tidak akan pernah "masuk". Belajar Tasawuf dimulai dengan mendengar, demikian menurut guru saya.
Selain itu, saat ini kita sangat membutuhkan rasa malu dan keberanian bertanggung jawab, juga kelembutan hati yang tertuang dalam setiap kata baik lisan, tulisan, juga perbuatan. Perubahan memang sebaiknya dimulai dari diri sendiri juga, sebab tidak akan ada perubahan bila kita terlalu pengecut untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Menuntut dan meminta terus dengan banyak alasan tidak akan menghasilkan perubahan bila kita tak juga sanggup memberi dan benar tulus ikhlas tanpa harus banyak alasan. Alasan hanya bagi yang tidak mampu bahagia dan bersyukur, bukan bagi yang ingin lebih baik dan berani terus mencoba agar lebih baik.
Selamat mencoba. Semoga berguna dan bermanfaat.
Catatan:
Terima kasih Bang Risman A. Rachman yang sudah menemani saya menulis selama ini. Kupu-kupu bersayap R dan M tetap selalu saya ingat, saya tak akan berhenti menulis, Bang!
Terima kasih Pelangi Timurku, Bhagas yang sudah berkenan menjadi sahabat saya dan menjadi tempat belajar mengajar. Teruslah penuhi dunia dengan cintamu!
Bandung, 8 Juni 2019
Salam hangat selalu,
Mariska Lubis
Postingan yang sangat bermanfaat,saya ikut tergoda untuk membaca sampai habis.
top banget dan mencerahkan...