Teori New Mata Pedang di Pemerintahan Aceh Pasca Reformasi (Bagian Kedua, terakhir)
Organisasi Perangkat Pusat vs Organisasi Perangkat Aceh
Mengacu pada legalitas formal yang mangatur tatanan kenegaraan di pemerintah daerah Aceh dapat dilihat beberapa organisasi perangkat negara yang mempunyai fungsi untuk menjalani urusan yang sama namun mempunyai tugas yang berbeda. Pada tatanan organisasi perangkat negara di daerah-daerah lainnya di Indonesia relatif sama, namun pada organisasi perangkat negara di Aceh ditambah oleh perangkat keistimewaan Aceh. Organisasi perangkat negara tersebut dapat digolongkan sebagai berikut: Urusan Keamanan oleh Kepolisisan Republik Indonesia (POLRI) dengan Polisi Pamong Praja (POLPP) dan Wilayatul Hisbah (WH)/Polisi Syariat Islam, urusan fiskal oleh Pajak Pratama dan Bea Cukai (Departemen Keuangan) dengan Badan Pengelolaan Keuangan Daerah dan Baitul Mall, urusan agama oleh Departemen Agama dengan Dinas Syariat Islam dan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), Urusan pendidikan oleh Departemen Pendidikan dengan Dinas Pendidikan dan Majelis Pendidikan Daerah (MPD), Urusan kebudayaan oleh Departmen Pariwisata dan Kebudayaan dengan Dinas Pariwisata dan Budaya serta Majelis Adat Aceh (MAA).
Kembali pada teori pedang Thomas Aquino dimana organisasi perangkat negara baik perangkat pusat maupun organisasi perangkat daerah yang berlandaskan Undang-undang tentang Pemerintah daerah lebih banyak mengatur tentang keduniawian sementara organisasi perangkat Aceh yang mengacu Undang-undang Keistimewaan Aceh lebih banyak mengatur masalah kerohanian. Perbedaannya pada sumber kekuasaan dimana pada abad pertengahan di Romawi bersumber pada dua kekuasaan yang terpisahkan yaitu kekuasaan negara dan kekuasaan gereja pada masa itu, sementara saat ini apa yang berlaku di Aceh bersumber pada satu kekuasaan yaitu kekeuasan negara.
Jika urusan negara yang menjadi kewenangan setiap perangkat negara ditamsilkan oleh Thomas Aquino sebagai mata pedang, bagaimana konsekwensi penerapannya terhadap masyarakat yang bernegara untuk mencapai kesejahteraan dalam kontek negara yang adail dan makmur? Adakah masyarakat dibebankan dengan sistem kenegaraan yang dikembangkan oleh pemerintah Aceh atau politik dan birokrasi terjebak pada kepentingan pragmatis?
Menyimak sejarah Aceh masa lalu sangat kuat terpatri hukum syariah ditegakan di bumi Iskandar Muda ini, jauh dari sistem sosialis komunis maupun kapitalis demokratis yang diperebutkan oleh dunia internasional pada abad ke 20. Seiring menguatnya sistem kapitalis demokrasi internasional membawa dampak pada sistem kenegaraan di Indonesia dimana Aceh turut terbawa dalam gelombang perkembangan zaman. Kehadiran Undang-undang keistimewaan Aceh untuk menangkis arus globalisasi dunia yang tidak sesuai dengan peradaban masyarakat Aceh, sehingga lahirlah organisasi perangkat Aceh untuk pembinaan bahkan pengawasan untuk terjaminnya tegaknya syariah. Pada tahap idiaelisme, pengorganisasian, pendanaan, dan pelkasanaan organisasi perangkat keistimewaan Aceh tidak terdapat rekasi negatif dari masyarakat Aceh. Rekasi positif ini terlihat pada urusan keamanan, agama, pendidikan, kebudayaan, sementara pada urusan fiskal baik dari idialisme, pengorganisasian, pengawasan tidak ada persoalan, namun pada tahap pelaksanaan masih terdapat kendala yang belum bisa teratasi.
Teori New Pedang pada Urusan Fiskal Aceh
Seperti diketahui bahwa urusan fiskal merupakan kewenangan negara dengan membentuk perangkat pusat dan daerah dengan tugas-tugas tertentu yang berfungsi sebagai pusat pembiayaan negara. Wujud dari organisasi sebagai pelaksana untuk perangkat pusat di bawah departemen keuangan adalah Kantor Pajak Pratama dan Bea Cukai, kantor wilayah departemen keuangan lainnya yang berada di Aceh tidak dibahas karena tidak berpengaruh secara signifikan terhadap materi yang sedang dikupas. Organisasi perangkat Aceh yang menjalankan urusan fiskal adalah Badan Pengelolaan Keuangan Aceh untuk provinsi dan Badan Pengelolaan Keuangan Daerah untuk kabupaten/kota, sementara organisasi perangkat keistimewaan Aceh yang mengelola urusan fiskal adalah Baitul Mall. Pelaksanaan urusan fiskal pada ketiga institusi ini pada dasarnya mengacu pada peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan keuangan negara, sebut saja Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara. Tugas Pajak Pratama dan Beacukai diatur lagi dengan undang-undang perpajakan dan bea cukai, Badan Pengelolaan Keuangan Aceh, kabupaten/kota diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Darah, sementara pungutan pada masyarakat diatur dalam Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan dikuatkan oleh Qanun.
Objek pungutan diatur sedemikian rupa antara pajak pusat, pajak provinsi dan pajak kabupaten/kota sehingga tidak tumpang tindih. Persoalan timbul pada Subjek pungutan baik pribadi, kelompok atau badan usaha dimana sebuah subjek terjadi berkali-kali menjadi objek pungutan, yang lebih celaka lagi pada sebuah kegiatan usaha ekonomi. Salah satu contoh kegiatan ekonomi terkena pungutan berganda adalah sewa bangunan, katakan besarnya usaha sewa bangunan Rp. 100.000.000,-, si penyewa dikenakan pungutan pusat dengan tarif pajak penambahan nilai (PPn) sebesar 10%, daerah kabupaten/kota mengenakan pajaak rumak sewa sebesar 10% ditambah pungutan terhadap Pajak Bumi dan Bangunan (PBB Perkotaan/Perdesaan) sebesar Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), Baitul Mall mengenakan tarif zakat sebesar 2,5%, total pungutan yang harus ditanggung untuk sebuah kegiatan ekonomi tersebut lebih kurang 25%. Penerimaan bersih Rp. 75.000.000,- sedangkan pengeluaran untuk urusan duniawi Rp. 22,500.000,- sementara pengeluaran untuk urusan rohani Rp, 2,500.000,-
Terobosan Jalan Keluar
Makro ekonomi melihat pajak berganda mempengaruhi secara negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, daya beli, pengangguran, dan inflasi di Aceh, diperlukan sebuah pengaturan dan pelaksanaan yang bijak terhadap persoalan ini. Ada beberapa konsep yang harus dipersiapkan untuk keluar dari kondisi yang paradog. Pertama: zakat sebagi pengurang pajak daerah tanpa menyentuh pajak pusat, selanjutnya; kedua: zakat sebagai penghapus pajak daerah tanpa menyentuh pajak pusat; ketiga: zakat sebagi pengurang pajak daerah dan pajak pusat; keempat: zakat sebagia penghapus pajak daerah dan pengurang pajak pusat, dan terakhir; zakat sebagai penghapus pajak daerah dan pajak pusat. Pajak daerah tidak di hapus bagi masyarakat non muslim karena mereka tidak dikenakan zakat. Konsep ini seharusnya masuk pada dokumen rencana pemerintah jangka panjang (RPJP) dengan program: lima tahun pertama, zakat sebagai pengurang pajak daerah; lima tahun kedua, zakat sebagai penghapus pajak daerah; lima tahun ketiga; zakat sebagai pengurang pajak pusat, dan lima tahun keempat; zakat sebagai penghapus pajak pusat. Butuh waktu 20 tahun untuk merealisasikan terhadap pungutan berganda ini, namun minimal pada tahap konsep sudah ada kejelasan walau pada tahap pelaksanaan terdapat berbagai kendala, namun masih sangat memungkinkan untuk dilaksanakan walau capaiannya hanya 75% dalam kurun waktu 20 tahun.
Pandangan politik, birokrasi, kemasyarakatan, hukum, maupun ekonomi, program tersebut masih sangat diterima, karena sebuah kebijakan biasanya ditinjau dari kelima unsur tersebut. tidak perlu khawatir terhadap penerimaan negara yang anjlok akbat kebijakan ini, karena banyak penelitian dilakukan terhadap potensi zakat Aceh melampoi dari target pendapatan asli baik untuk provinsi maupun kabupaten/kota. Regulasi terhadap organisasi, pelaksana, pendanaan dan pertanggungjawaban zakat sudah ada, hanya tinggal singkronisasi dan koordinasi antar lembaga organisasi yang mengangani sektor fiskal ini yang belum berjalan. Masing-masing menjalankan tugas yang menjadi kewenangnanya, masing masing mempunyai pedang sendiri untuk memotong penghasilan masyarakat seperti yang dituliskan oleh Thomas Aquino pada zaman pertengahan di Romawi.
Penulis: Bambang Suroso
Pengamat ekonomi dan pemerintahan
Bekerja pada pemerintah Kota Lhokseumawe
Email : ovathur.cj@gmail.com
New Theory of the Sword in the Post-Reform Administration of Aceh
(The second part, and the last)
Organization of Device Centers vs. Organization of Aceh Devices
Referring to the formal legality that mangatur state order in Aceh local government can be seen several organizations of state devices that have the function to undergo the same business but have different tasks. In the organizational arrangement of state apparatus in other areas in Indonesia is relatively the same, but in the organization of state apparatus in Aceh added by the privilege of Aceh. The organization of the state apparatus may be classified as follows: Security Affairs by Police of the Republic of Indonesia (POLRI) with the Civil Service Police (POLPP) and Wilayatul Hisbah (WH) / Police of Islamic Sharia, fiscal affairs by Primary and Customs Tax (Ministry of Finance) Management of Regional Finance and Baitul Mall, religious affairs by the Ministry of Religious Affairs with the Office of Islamic Sharia and the Assembly of Ulama Council (MPU), Education Affairs by the Ministry of Education with the Education Office and Regional Education Assembly (MPD), Cultural Affairs by the Ministry of Tourism and Culture with the Department of Tourism and Culture and Aceh Traditional Assembly (MAA).
Back to the theory of sword Thomas Aquino where the organization of state apparatus both central devices and regional apparatus organizations based on the Law on Local Government more regulate the worldliness while the organization of Aceh devices that refer to the Law Privileges Aceh more set the spiritual issues. The difference in the source of power where in medieval Romanism originated from two separate powers, namely the power of the state and the power of the church at that time, while today what prevails in Aceh derived from one power that is the state.
If the state affairs under which every state device is authorized by Thomas Aquino as the sword's edge, how are the consequences of their application to a stateless society to achieve prosperity in the context of a prosperous country? Is there a society charged with a state system developed by the Aceh government or politics and bureaucracy stuck on pragmatic interests?
Listening to the history of Aceh in the past is very strongly inserted sharia law enforced in the earth Iskandar Muda is, away from the socialist system of communist and democratic capitalist contested by the international world in the 20th century. Along with the strengthening of the international capitalist system of democracy has an impact on the state system in Indonesia where Aceh carried over in the waves of the times. The presence of the Law of Aceh privilege to ward off the globalization of the world that is not in accordance with the civilization of the Acehnese society, so that the Acehnese organization was born for guidance and even supervision to ensure the establishment of sharia. At the stage of idiaelism, organizing, funding, and the execution of organizations of Aceh's privileged facilities there is no negative reaction from the Acehnese people. This positive reaction is seen in security, religion, education, culture, while on fiscal affairs both from idialism, organizing, supervision is no problem, but at the implementation stage there are still obstacles that can not be overcome.
New Sword Theory on Aceh Fiscal Affairs
As it is known that fiscal affairs is the authority of the state by establishing central and regional devices with certain tasks that serve as the center of state financing. The form of the organization as the implementer for the central apparatus under the finance department is the Tax Office of Primary and Customs, the other district offices of the finance department located in Aceh are not discussed because it has no significant effect on the material being peeled. The Acehnese organization that runs fiscal affairs is the Aceh Provincial Financial Management Board and the District Financial Management Agency for districts / municipalities, while the organization of Aceh's fiscal privileges managing fiscal affairs is Baitul Mall. The implementation of fiscal affairs in these three institutions basically refers to the legislation on state financial management, namely Law No. 17 of 2003 on State Finance, Law Number 1 of 2004 on State Treasury, and Law Number 15 Year 2004 on State Finance Audit and Accountability. The duties of the Tax Office of Primary and Customs are regulated under the taxation and customs laws, the Acehnese Financial Management Board, regencies / municipalities are regulated in Government Regulation No. 58/2005 on Financial Management of Blood, while public levies are regulated in the Local Tax Law and Levy and reinforced by local regulations (Qanun).
Object levies are arranged between central, provincial and district / city taxes so that they do not overlap. The problem arises on the subject of levies either personal, group or business entity in which a subject occurs repeatedly becomes the object of levies, which is even more woeful in an economic business activity. One example of economic activity exposed to multiple levies is the rental of buildings, say the amount of rental business building Rp. 100.000.000, -, the tenant is levied by the central levy with a 10% rate added tax rate, the county / municipality imposed a 10% rental tax plus the levy on the Land and Urban / Rural Tax of the Tax Object Selling Value, Baitul Mall wore zakat rate of 2.5%, total levy that must be borne for an economic activity is approximately 25%. Net Revenue Rp. 75.000.000, - while spending on worldly affairs Rp. 22,500,000, - while spending on spiritual matters Rp, 2,500,000, -
Breakthrough Exit
Macroeconomic viewing of multyplayer taxes negatively affects economic growth, purchasing power, unemployment, and inflation in Aceh, a wise arrangement and implementation of this issue is required. There are several concepts that must be prepared to get out of paradogic conditions. First: zakat as a deduction of local taxes without touching the central tax, furthermore; secondly: zakat as the eraser of local taxes without touching the central tax; thirdly: zakat as a deduction of local taxes and central taxes fourth: zakat eraser local taxes and a tax deduction center, and finally; zakat as eraser of local tax and central tax. Local taxes are not abolished for non-Muslim communities because they are not subject to zakat. This concept should be included in long-term government plan documents with the program: the first five years, zakat as a deduction of local taxes; the second five years, zakat as the erasing of local taxes; the third five years; zakat as a deduction of the central tax, and the fourth five years; zakat as the central tax eraser. It took 20 years to realize these double charges, but at least at the concept stage there is clarity, although at the stage of implementation there are various obstacles, but it is still possible to implement even if the achievement is only 75% within 20 years.
Political, bureaucratic, societal, legal, and economic views, the program is still very acceptable, because a policy is usually viewed from the five elements. do not have to worry about the state revenue that plummeted this policy, because a lot of research conducted on the potential of zakat in Aceh goes beyond the original revenue target for both provincial and district / city. Regulation of organizations, implementers, funding and accountability of zakat already exists, only synchronization and coordination between institutions of organizations that handle this fiscal sector that has not run. Each one runs the duties of his own, each having his own sword to cut off the income of society as written by Thomas Aquino in medieval times in Rome.
Author: Bambang Suroso
Governmental Economic Observer
Working on the Lhokseumawe Municipal
Government
Email: ovathur.cj@gmail.com
Source
https://www.plukme.com/post/
good job and good idea mr.bambang
Thanks Mr vanhouse.......