Mengenang Tsunami di Bibir Laut Peudawa Puntong
Apakabar rekan steemians?
SEJATINYA, Tsunami itu momen paling tinggi dalam catatan hidup. Khususnya saya. Pasalnya, saya salah satu orang yang merasakan langsung. Bagaimana bumi berguncang. Bagaimana gelombang laut masuk ke darat. Lalu, orang pertama yang kami angkat sudah tidak bernyawa. Ada sekuel lain yang memilukan.
Semua cerita itu masih melekat di kepala saya. Semua cerita itu juga sudah saya tuangkan dalam tulisa berseri. Tulisannya dimuat di acehkita.com, versi lama. Judulnya; Menolong atau Meliput? Ada lima episode tayang. Dua edisi selanjutnya berjudul: "Ketika Jiwa Jurnalisku Menyentak,"
Pada peringatan 20 tahun Tsunami Aceh tahun ini, saya malah tidak berada dalam kawasan. Kali ini saya pulang ke kampung neneknya anak-anak di Peureulak. Karena neneknya sudah lama meninggal, kami memilih ke rumah wawak-nya anak-anak. Ada di Beuringin, Kecamatan Peureulak Barat. Berjarak sekitar 3 kilometer dari jalan Banda Aceh Medan. Ke arah Lokop, Peunaron, Aceh Timur.
Kami berangkat dari pukul 8.09 Wub. Sore sebelum Magrib sudah di kampung. Tentu perjalanan ini sudah singgah di sejumlah tempat. Seusai istirahat dari perjalanan yang melelahkan dari Banda Aceh ke Aceh Timur, esoknya langsung singgah di objek wisata. Kali ini di Pantai Peudawa Putong. Ini untuk pertama kali saya ke sini.
Usai menikmati sanger pancong di Hawa Kupi, Peureulak , kami segera menuju ke pantai dimaksud. Perjalanannya sekitar 20-menitan. Seperti halnya dibanyak tempat wisata, masuk ke pantai yang landai ini dikenakan biaya 10K saja. Tergolong murah dibandingkan dengan yang biasa kami datangi. Seperti di Lampuuk, Lhoknga dan Alue Naga.
Kutipan ini diambil beberapa pemuda. Mereka menyerahkan selembar tiket. Berwarna putih. Awalnya saya pikir di sini ada ikan bakar. Saya sudah membayangkan rambeue dengan acar tomat akan amat nikmat. Ternyata tak ada. Kecewa anak muda. Kami pun pesan makanan "sejuta umat" saat berlibur di pantai. Jika bukan mie instan ya, mie kemasan. Tapi kali ini ada tambahan, tiga mangkuk es campur durian.
Saat kami tiba, ada puluhan keluarga. Mereka menempai balai-balai yang didirikan berjejeran. Ada penjual penganan anak-anak, bakso goreng dan juga es cream. Di sini cuacanya cukup adem. Meski matahari sudah menanjak tinggi. Mereka berlari penuh riang. Usianya masih balita dan remaja tanggung. Tentu mereka tidak tahu, dampak dahsyat dari Gempa dan Tsunami Aceh pada hari ini, tapi 20 tahun silam. Dua dekade lalu.
Mereka yang belum paham akan peristiwa besar dua dekade lalu. Namun, ada juga penjual penganan dan mainan anak-anak yang sudah senior. Sudah berumur antara 50-60-an. Tapi saya yakin mereka tidak ingat atau bahkan abai dengan momen bersejarah itu. Ini wajar, mengingat mereka tidak mengalami langsung. Apalagi, kawasan yang mereka jadikan lokasi berjualan sekarang, tidak terkena imbas buruk dari bencana dahsyat ini.
Tentu saja mereka juga tidak tahu, kalau di antara pengunjung yang datang kali ini ada saksi utama dari bencana itu. Meski bukan korban berat, tapi tetap menjadi saksi kunci. Selain merasakan, saya juga harus menulis serta meliput air mata duka ini. Untuk mengenang hal tersebut, saya membuat status di WhatsApp. Tentu tak lupa juga sebait puisi.
Tsunami Kala Itu
Julok dingin menyesap, teduh, tenang
sebagian penuh riang
Tapi, duapuluh tahun lalu
Bumi berguncang, laut murka
Orang-orang berlari tanpa asa
Penuh tangis, meratap
berton-ton air mata tumpah
Kami menangis, aku menulis
[Julok 26/12/24]
Usai membuat postingan, kami melanjutkan kegiatan kegiatan berlibur. Apalagi anak-anak tidak puas dengan hanya makan-makan saja. Ghazi dan Gulfam memilih main bola. Bola dibeli pada penjual mainan di situ juga. Harga 25K. Sebelum waktu Ashar tiba, kami mengakhiri kunjungan ke pantai ini.
Sejatinya, pasar ini begitu asyik. Pasalnya laut di sini landai. Kawasan pantai juga lebar. Anak-anak punya pendapat sendiri. Umumnya, mereka suka. Kasih like, comment dan share, kata Ghazi.
Selamat liburan ya Pak.
Terima kasih bu Rissi...
Thank you freind, @max-pro
Seperti banyak bencana yang lain, sejarah dicatat, manusia melupakan. Sebab itu Si Bung selalu berorasi "JAS MERAH"
Benar sekali, sepertinya mereka yang tidak terdampak malah abai serta tak peduli, beda dengan mereka yang menjadi korban dsn kehilangan harta bedan serta keluarga, tentu akan selalu mengenang dengan khitmat...
Terima kasih sudah singgah di postingan ini..