Tangis yang Menuntun Ayah Pulang

in STEEM Literacy2 months ago

IMG_20240628_142012.jpg

Boleh dibilang, Andara adalah anak saya yang paling manja — dan paling dekat dengan saya. Sejak kecil, ia memang berbeda. Di antara semua anak saya, kedekatan kami terasa lebih intens, lebih hangat, lebih penuh emosi yang kadang sulit dijelaskan. Namanya lengkapnya Andara Afifa Radhwa, putri ketiga saya. Sampai hari ini, meski sudah duduk di kelas tiga SMP, sifat manjanya tak juga hilang.

Saya masih ingat satu peristiwa yang membekas di hati. Malam itu sudah lewat jam sembilan. Saya masih di kantor, mengikuti rapat penting yang belum juga usai. Di tengah keseriusan pembahasan, tiba-tiba ponsel saya berdering — panggilan video dari rumah. Di layar, wajah Andara tampak sembab, matanya basah, suaranya bergetar menahan tangis.

“Ayah, cepat pulang… Andara rindu ayah,” katanya lirih sambil terisak.

Saya hanya bisa terdiam. Ada rasa sesak di dada. Sementara dari belakang, suara adiknya terdengar, memberitahu bahwa kakaknya menangis sejak magrib. “Katanya dia kangen ayah,” ujar adiknya pelan.

Begitu rapat selesai, saya langsung bergegas pulang. Malam itu, di ruang tamu yang redup, saya mendapati Andara tertidur dengan mata masih berair. Saya duduk di sampingnya, mengusap rambutnya perlahan. Dalam hati saya tahu, kasih sayangnya begitu besar — dan begitu pula rindu yang ia pendam.

Namun di balik sifat manjanya itu, Andara adalah sosok yang tangguh dan luar biasa. Sejak kelas satu sekolah dasar, ia sudah menaruh tekad kuat untuk selalu menjadi juara kelas. Tak pernah saya menyuruh, apalagi memaksa. Ia melakukannya dengan kemauan sendiri. Ada semangat yang tak saya temukan pada anak-anak saya yang lain, meski semuanya berprestasi dengan caranya masing-masing.

Kini, Andara tumbuh menjadi remaja yang cerdas dan mandiri. Ia mulai berani mengambil peran dalam berbagai kegiatan di sekolah. Lomba demi lomba ia ikuti — dari tingkat sekolah, hingga mewakili kota. Ia bukan lagi sekadar anak yang manja di pelukan ayah, tapi juga gadis yang mulai menata masa depannya sendiri.

Suatu kali saya bertanya, “Nanti kalau sudah besar, Andara mau jadi apa?”

Tanpa ragu, ia menjawab, “Andara mau jadi engineer pertambangan, Yah. Biar bisa beli apa aja untuk Ayah nanti.”
Jawaban itu sederhana, tapi begitu menggetarkan hati. Ada kebanggaan yang tak bisa saya sembunyikan — bukan semata karena cita-citanya besar, tapi karena ia ingin berjalan di jejaknya dengan caranya sendiri. Mungkin karena suatu waktu saya pernah bercerita bahwa pra insinyur yang bekerja di industri pertambangan, apa lagi pertambangan minyak dan gas, memiliki pendapatan yang sangat besar.

IMG_20240331_120007.jpg

Andara, si manja yang tak pernah lepas dari ayah, kini sedang tumbuh menjadi gadis dengan cahaya yang makin terang. Kadang saya masih merindukan suaranya yang manja, panggilannya yang lembut setiap malam. Tapi saya juga tahu, pelan-pelan, dia sedang belajar terbang — dan saya, sebagai ayah, hanya bisa berdiri di bawah, menatapnya dengan doa yang tak pernah putus.

Semoga kelak, ketika dunia membentangkan jalan yang panjang di hadapannya, Andara akan tetap ingat — bahwa di setiap langkahnya, ada cinta seorang ayah yang selalu mengiringi.